Sabtu, 15 September 2018

Perempuan Penikmat Jalan

29 Juli 2018, sabtu hari dimana saya meninggalkan rumah dengan penuh semangat, jika kalian membca ini mungkin kalian akan berpikir saya ingin sekali meninggalakan rumah, namun tidak saya hanya sedang bersemangat mempersilahkan diri saya melangkah menapaki jalan dan merasakan angin hingga terik mentari yang tanpa ampun menyinari




Bermodalkan pakaian seransel, jaket, sebotol air minum dan 2 bungkus keripik pisang yang diisi oleh ibu saya mengingat anak perempuannya akan pergi di tanah orang yang tak 1orangpun ia kenali maka my journey officially started. 

Well tujuan saya kali ini adalah pulau seram, pulau terbesar di provinsi Maluku, tepatnya saya akan ke Taniwel, seram bagian barat. Ini merupakan perjalanan pertama saya ke taniwel, tak tergambar sedikit pun seperti apa taniwel itu dan saya pun tak mau terlalu repot memikirkannya toh saya akan tau dengan sendirinya ketika saya sampai disana. Dari ambon ke pulau seram saya menumpang angkutan ferry milik negara dengan tiket yang saya bayar seharga sebungkus nasi padang pake kuah rendang dan sambel *saya kangen sekali  itu makanan^^* selama 1.5 jam. Perjalanan saya belum selesai, taniwel masih jauh disana, setelah meumpang ferry dan sampai di pelabuhan waipirit pulau seram saya masih harus menlanjutkan perjalanan dengan mobil selama kurang lebih berjam-jam *hehe. 

Dalam perjalanan ke taniwel banyak sekali desa-desa kecil dengan orang-orang yang seprtinya ramah dan cukup bersahabat. Mengapa? Karena setiap klakson yang dibunyikan ketika memenui kerumunan orang di desa yang kami lewati selalu di balas dengan lambaian tangan dan senyum yang mengembang. Terlihat pula beberapa ibu, bapak, hingga anak-anak yang sepertinya baru pulang dari kebun berjalan menuju rumah, ada yang bristirahat dengan duduk hingga tiduran dipinggir jalan yang masih saja mengumbar senyum mereka ketika di klakson, padahal mungkin klakson tersebut bukan untuk menyapa tapi untuk meminta memberi sedikit ruang, tapi tetap saja dibalas dengan senyum tulus mereka yang masih cukup enak untuk dilihat.


Ketika melewati 1 desa yang saya tidak tau apa namanya. Tepat dipinggir jalan di sebelah kiri saya terlihat meja beratap yang diatasnya berjejer beberapa toples yang berisi jajanan seperti roti, donat, kacang, hingga makanan yang tidak saya tau apa namanya. Namun bukan isi toples – toples itu yang menarik perhatian saya *walaupun saya sedikit tertarik>,<* tapi fakta bahwa tak ada penjaga topless-toples itulah yang mebuat saya membatin “itu ditinggal begitu saja, gak dicuri?” kalau hal ini terjadi di ambon mungkin dalam sekejap isinya akan habis bahkan bisa lenyap sekaligus dengan toplesnya. Hal ini seakan menyadarkan saya, ada banyak hal yang mati-matian di jaga namun masih tetap saja dicuri, tapi ada yang tak dijaga namun tak juga dicuri. Mungkin menyerahkan segalanya untuk dijaga Tuhan adalah pilihan terbaik, jika memang itu punyamu maka takkan kemana, namun jika memang dicuri maka ikhlaskanlah mungkin itu bukan punyamu. 

Tepat setengah 6 sore, saya akhirnya sampai di Taniwel, kesan pertama saya tentang taniwel adalah Damn! Jalanan rusak dan berdebu. Karna aspal dan jalanan mulus hanya sampai di pintu masuk desa Taniwel yang di tandai sebuah gapura besar bertuliskan selamat datang. Jalanan yang berlubang sana sini, batu-batu kerikil yang menghiasi, dan debu yang berterbangan ketika dilewati seakan menjadi paket komplit yang menyambut kedatangan saya. Well, Welcome to Taniwel, Sri. Sekilas Taniwel ini sama saja dengan desa-desa lain yang kami lewati, rumah di kiri kanan jalan, dari rumah berdinding batu hingga bambu, gedung sekolah, beberapa kantor, rumah ibadah, dan tak luput pula meja beratap yang menawarkan jajanan. 

Hal pertama yang membuat saya berdecak kagum ketika sampai disini adalah rona merah di langit taniwel yang begitu mempesona, Tuhan seakan tau betapa susahnya saya menemukan merah itu di Ambon, mungkin Ambon sudah kehabisn stok merah sehingga kelabu saja yang ia tampakkan.

Selain itu ada hal lain yang membuat senja di taniwel ini lebih saya tunggu, tak tanggung-tanggung saya duduk hampir sekitar 1 jam hanya untuk menatapi sang raja siang menghilang dan digantikan dengan ratunya malam, bukan hanya untuk menikmati rona merahya namun juga agar saya tau kemana harus saya berdiri menghadap tuhan saya. FYI, mayoritas penduduk di taniwel ini beragama Kristen, jadi tak ada masjid disini dan bagi seorang muslim seperti saya yang punya kewajiban untuk menghadap tuhan saya keberaadaan masjid sangat membantu untuk mengetahui kemarah arah kiblat dan pengingat waktu sholat dengn lantunan adzannya, namun tak ada yang tak mungkin jika kita mau berusaha, ibarat kata tak ada masjid senja pun jadi. Itulah mengapa senja kali ini adalah senja pertama dalam hidup saya yang begitu saya tunggu kehilangannya *apasih inii?? Hahahahha. 

Well, ini baru tentang hari pertama saya di taniwel, masih ada banyak cerita lain yang bisa ceritakan kepada kalian. So wait for that yahhh,…..

Lorem ipsum is simply dummy text of the printing and typesetting industry.

Comments


EmoticonEmoticon