Selasa, 28 Agustus 2018

Potret Lelaki Yang Patah Dalam Dua Novel Indonesia


Potret Lelaki Yang Patah Dalam Dua Novel IndonesiaLelaki sering dianggap sebagai makhluk yang tangguh, kuat dan selalu tampak maskulin dalam  anggapan banyak orang. Namun tak semua anggapan itu berlaku dalam novel Indonesia. Dua di antaranya yang akan saya ceritakan ini malah berbanding terbalik. Saya seperti menangkap bahwa lelaki dalam satu sisi memiliki hak untuk sekadar tak tampak kuat, tak cukup  tangguh dan tak cukup maskulin. Lelaki punya dunianya sendiri yang tentu berbeda dengan perempuan. Lelaki tak cukup piawai mengungkapkan kesedihannya dengan gamblang, tak cukup kuat membahasakan bahwa ia butuh teman curhat, atau menangis terseguk-seguk. Tak cukup. Itu sebabnya, saat saya membaca dua novel ini, saya menyadari bahwa dua novel ini dapat mewakili bahwa lelaki di satu sisi ia harus tampak seolah-olah kuat—namun di sisi lain ia pun jatuh tersungkur. Apalagi bila hal yang buatnnya jatuh itu adalah ihwal cinta-cintaan. Beh, siapa pula manusia yang dapat berkelit dari cinta?

Adalah Zainudin, sosok lelaki dalam novel Tenggelamnya Kapal Vander Wijck, dengan amat baik menggambarkan bagaimana sosok Zainudin begitu rapuh dan gerongi dihadapan seorang Hayati. Ia dengan malu-malu tapi mau, begitu mencintai Hayati. Semua yang membikin ia begitu gerogi itu seketika hancur lebur saat dikemudian hari, ia mendapat kabar bahwa Hayati menikah dengan orang lain. Zainudin terkapar tak berdaya di atas dipan seadanya. Berbulan-bulan, ia tak punya hasrat untuk hidup. Makan tak enak, minum pun jarang. Dalam tidur ia mengigau entah siang-entah pula malam memanggil-manggil nama Hayati. Yang ia bisa lakukan hanyalah uring-uringan di atas dipan. Hidup seolah kehilangan warna dan cahaya di dalam mata dan pikirannya.

Pada novel yang berbeda, Jiwa dalam novel Lelaki Yang Terakhir Menangis di Bumi, adalah penggambaran sosok lelaki yang serupa namun tak sama. Ia berbeda dengan Zainudin yang hanya terpaku pada sosok Hayati,  Jiwa berbeda. Setelah mendapatkan kenyataan bahwa Nanti yang begitu ia cintai menikah dengan orang lain, Batin Jiwa terguncang. Ia berusaha untuk berkelana menemukan perempuan lain yang bisa mengobati hatinya yang patah itu. Berkali-kali ia memacari perempuan lain, namun berkali-kali pula, luka yang dulu ditorehkan Nanti lebam membusuk di jantungnya. Perempuan-perempuan yang dipacarinya itu tak lebih dari pelarian-pelarian yang semu, dari satu kesemuan ke kesemuan yang lain. Jiwa tak sanggup mengganti dan menemukan sosok lain seperti Nanti, meski ada beberapa perempuan yang sama seperti Nanti, namun hal itu hanya menyadarkan ia pada sosok Nanti.

Pada dua lakon di atas, baik Zainudin maunpun Jiwa, adalah penggambaran sosok lelaki yang terlampau mencintai perempuan dan kandas di tengah jalan. Tragisnya, dua orang ini tenggelam dalam dunia kesenduan yang dalam. Beruntung, Zainudin memiliki teman seperti Bang Muluk. Lelaki slengean yang jadi teman baiknya itu. Bang Muluk membantu Zainudin untuk bangkit dari kubangan kesedihan. Namun sosok Jiwa berbeda, ia tak memiliki teman yang dapat membuatnya bangkit. Yang pada akhirnya, Zainudin hidup dan berjuang membangun masa depannya. Dan Jiwa mati membusuk dengan kenangannya. Dua lelaki yang patah dalam novel kita, novel Indonesia.

Kamu, ingin jadi Zainudin atau Jiwa? Semoga bukan keduanya, yah..

Lorem ipsum is simply dummy text of the printing and typesetting industry.

Comments


EmoticonEmoticon